Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan

Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan

Bulan Ramadlan - Arifinbaderi.blogspot.com :: Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan

Keutamaan Bulan Ramadlan
Ramadlan adalah Bulan Diturunkannya Al Qur’an
Bulan Ramadlan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih  sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu Bulan Ramadlan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadlan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam.”
Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka Ketika Ramadlan Tiba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
”Apabila Ramadlan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”
Al Qodli ‘Iyadl mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadlan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodli ‘Iyadl, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadlan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadlan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.”
Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan
Pada bulan Ramadlan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah –yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadlan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr: 1-3).
Dan Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
”Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkahi di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma.[5]
Bulan Ramadlan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Do’a
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadlan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang didlalimi”. An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berdo’a dari awal ia berpuasa hingga akhirnya karena ia dinamakan orang yang berpuasa ketika itu.” An Nawawi rahimahullah mengatakan pula, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa ketika ia dalam keadaan berpuasa untuk berdo’a demi keperluan akhirat dan dunianya, juga pada perkara yang ia sukai serta jangan lupa pula untuk mendoakan kaum muslimin lainnya.”


Keagungan Puasa Ramadlan

[1] KEDUDUKAN SHAUM RAMADLAN
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…”
Kewajiban Bagi Kaum yang Beriman
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183)
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadlan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadlush Shalihin, 3/380)
Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab puasa Ramadlan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan menjalankan puasa Ramadlan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan puasa Ramadlan akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh Riyadlush Shalihin, 3/380-381)
Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits qudsi),
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265)
Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 116)
Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah.” (Fath Al-Bari, 11/388)
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadlul Al-A’maal, hal. 34)
[2] KEUTAMAAN SHAUM
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi…”
Menghapuskan Dosa-Dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang puasa Ramadlan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah meyakini wajibnya puasa yang dia lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan mengharapkan pahala/ihtisab adalah keinginan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala (Fath Al-Bari, 4/136)
An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan para ulama ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa yang terampuni dengan melakukan puasa Ramadlan itu adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (lihat Al-Minhaj, 4/76). Hal itu sebagaimana tercantum dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa Ramadlan yang satu dengan puasa Ramadlan berikutnya. Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])
Di dalam kitab Shahihnya, Bukhari membuat sebuah bab yang berjudul ‘Shalat lima waktu sebagai penghapus dosa’ kemudian beliau menyebutkan hadits yang senada, dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu Nabi bersabda,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
“Bagaimana menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah masih ada sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan olehnya.” Maka beliau bersabda, “Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])
Ibnu Hajar mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini lebih luas daripada dosa kecil maupun dosa besar. Akan tetapi Ibnu Baththal mengatakan, ‘Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil saja, sebab Nabi menyerupakan dosa itu dengan kotoran yang menempel di tubuh. Sedangkan kotoran yang menempel di tubuh jelas lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan bekas luka ataupun kotoran-kotoran manusia.'”
Meskipun demikian, Ibnu Hajar membantah ucapan Ibnu Baththal ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits bukanlah kotoran ringan yang sekedar menempel di badan, namun yang dimaksudkan adalah kotoran berat yang benar-benar sudah melekat di badan. Penafsiran ini didukung oleh bunyi riwayat lainnya yang dibawakan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dengan sanad la ba’sa bihi yang secara tegas menyebutkan hal itu.
Oleh sebab itulah Al-Qurthubi mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa melakukan shalat lima waktu itulah yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa, akan tetapi makna ini janggal. Namun terdapat hadits lain yang diriwayatkan sebelumnya oleh Muslim dari penuturan Al-Alla’ dari Abu Hurairah secara marfu’ Nabi bersabda, ‘Shalat yang lima waktu adalah penghapus dosa di antara shalat-shalat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Berdasarkan dalil yang muqayyad (khusus) ini maka hadits lain yang muthlaq (umum) harus diartikan kepada makna ini.” (lihat Fath Al-Bari, 2/15)
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa karena amal kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya amal-amal kebaikan itu akan menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah menyatakan bahwa mengerjakan amal-amal kebaikan akan dapat menghapuskan dosa-dosa di masa silam…” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/247). Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di dalam ayat di atas adalah dosa-dosa kecil (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 391)
Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi dosa-dosa besar sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (Qs. An-Nisaa’ [4]: 31)
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa definisi yang paling tepat untuk dosa besar adalah segala bentuk pelanggaran yang diberi ancaman hukuman khusus (hadd) di dunia atau ancaman hukuman tertentu di akhirat atau ditiadakan status keimanannya atau timbulnya laknat karenanya atau Allah murka kepadanya (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas mengenai firman Allah di atas. Ibnu Abbas mengatakan, “Dosa besar adalah segala bentuk dosa yang berujung dengan ancaman neraka, kemurkaan, laknat, atau adzab.” (HR. Ibnu Jarir, disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 2/202)
Ibnu Abi Hatim menuturkan: Abu Zur’ah menuturkan kepada kami: Utsman bin Syaibah menuturkan kepada kami: Jarir menuturkan kepada kami riwayat dari Mughirah. Dia (Mughirah) mengatakan, “Tindakan mencela Abu Bakar dan Umar radliyallahu’anhuma juga termasuk dosa besar.” Ibnu Katsir mengatakan, “Sekelompok ulama bahkan berpendapat kafirnya orang yang mencela Sahabat, ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Malik bin Anas rahimahullah.” Muhammad bin Sirin mengatakan, “Aku tidaklah mengira bahwa ada seorang pun yang menjatuhkan nama Abu Bakar dan Umar sementara dia adalah orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). (lihat keterangan ini dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/203)
Qatadah mengatakan tentang makna ayat di atas, “Allah hanya menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/203)
Termasuk bagian dari menjauhi dosa besar ialah dengan senantiasa menunaikan kewajiban yang apabila ditinggalkan maka pelakunya terjerumus dalam dosa besar seperti halnya meninggalkan shalat, meninggalkan shalat Jum’at, atau meninggalkan puasa Ramadlan (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176)
Memasukkan ke Dalam Surga
Thalhah bin Ubaidillah radliyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya acak-acakan. Dia mengatakan,
“Wahai Rasulullah. Beritahukan kepadaku tentang shalat yang Allah wajibkan untuk kukerjakan?”
Beliau menjawab,
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
Beliau menjawab,
“Puasa di bulan Ramadlan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Orang itu lalu mengatakan, “Demi Dzat yang telah memuliakan anda dengan kebenaran. Aku tidak akan menambah sama sekali, dan aku juga tidak akan menguranginya barang sedikitpun dari kewajiban yang Allah bebankan kepadaku.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”
Atau beliau mengatakan,
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
Membentengi Pelakunya Dari Perbuatan Buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Puasa adalah perisai, maka janganlah dia berkata kotor dan bertindak dungu. Kalau pun ada orang yang mencela atau mencaci maki dirinya hendaknya dia katakan kepadanya, “Aku sedang puasa.” Dua kali. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi. (Allah berfirman) ‘Dia rela meninggalkan makanannya, minumannya, dan keinginan nafsunya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Setiap kebaikan itu pasti dilipatgandakan sepuluh kalinya.” (HR. Bukhari [1894] dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan kata-kata kotor (rofats) di dalam hadits ini adalah ucapan yang keji. Kata rofats juga terkadang dimaksudkan untuk menyebut jima’ beserta pengantar-pengantarnya. Atau bisa juga maknanya lebih luas daripada itu semua (Fath Al-Bari, 4/123)
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ini bukan berarti di selain waktu puasa orang boleh mengucapkan kata-kata kotor. Hanya saja ketika sedang berpuasa maka larangan terhadap hal itu semakin keras dan semakin tegas (Fath Al-Bari, 4/124)
Kata rofats dengan makna jima’ bisa dilihat dalam ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan untuk kalian pada malam (bulan) puasa melakukan rafats (jima’) kepada isteri-isteri kalian.” (Qs. Al-Baqarah [2] : 187)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata rofats di dalam ayat ini maksudnya adalah jima’. Inilah tafsiran Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amr bin Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Adl-Dlahhaak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi, Atha’ Al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayan (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/286)
Dan yang dimaksud dengan bau mulut -orang yang puasa- tersebut adalah bau mulut yang timbul akibat berpuasa, bukan karena sebab yang lain (Fath Al-Bari, 4/125).
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘keinginan nafsunya’ di dalam hadits ini adalah hasrat untuk berjima’, sebab penyebutannya digandengkan dengan makan dan minum (Fath Al-Bari, 4/126)
Sebuah Pintu Khusus di Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar-Royyan. Orang-orang yang rajin berpuasa akan masuk Surga melewatinya pada hari kiamat nanti. Tidak ada orang yang memasukinya selain mereka. Diserukan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang rajin berpuasa?’ Maka merekapun bangkit. Tidak ada yang masuk melewati pintu itu selain golongan mereka. Dan kalau mereka semua sudah masuk maka pintu itu dikunci sehingga tidak ada lagi seorangpun yang bisa melaluinya…” (HR. Bukhari [1896] dari Sahl radliyallahu’anhu)
Yang dimaksud dalam hadits dengan orang yang rajin puasa bukanlah orang yang hanya mengerjakan puasa dan tidak mengerjakan shalat, sebab orang seperti ini tidak akan masuk surga akibat kekafirannya (meninggalkan shalat, pen). Akan tetapi yang dimaksud adalah kaum muslimin yang banyak-banyak berpuasa maka dia akan dipanggil agar melalui pintu tersebut. Sehingga setiap penghuni surga akan memasuki surga melalui pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat Syarh Riyadlush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/388-389)
Masing-masing pintu di surga memiliki kekhususan. Hal itu sebagaimana dikabarkan oleh Nabi dalam haditsnya,
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُم
“Barangsiapa yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’ Maka orang yang termasuk golongan ahli shalat maka ia akan dipanggil dari pintu shalat. Orang yang termasuk golongan ahli jihad akan dipanggil dari pintu jihad. Orang yang termasuk golongan ahli puasa akan dipanggil dari pintu Ar-Royyan. Dan orang yang termasuk golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”
Ketika mendengar hadits ini Abu Bakar pun bertanya, “Ayah dan ibuku sebagai penebus anda wahai Rasulullah. Apa lagi yang akan dicari oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu, mungkinkah ada orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Maka beliau pun menjawab, “Iya ada. Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka.” (HR. Bukhari [1897 dan 3666] dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
Al-Qadli menukil ucapan Al-Harawi ketika menerangkan makna ‘sepasang hartanya': Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang harta’ adalah dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor onta (Al-Minhaj oleh An-Nawawi, 4/351). Sedangkan yang dimaksud dengan berinfak di jalan Allah dalam hadits ini mencakup berinfak untuk segala bentuk amal kebaikan, bukan khusus untuk jihad saja (Al-Minhaj, 4/352).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang yang beramal akan dipanggil dari pintunya masing-masing. Hal ini didukung dengan hadits dari jalur lain juga dari Abu Hurairah yang mengungkapkannya secara tegas, Nabi bersabda,
لِكُلِّ عَامِل بَاب مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة يُدْعَى مِنْهُ بِذَلِكَ الْعَمَل
“Bagi setiap orang yang beramal terdapat sebuah pintu khusus di surga yang dia akan dipanggil melalui pintu tersebut karena amal yang telah dilakukannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih, demikian kata Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari, 7/30)
Hadits ini juga menunjukkan betapa mulia kedudukan Abu Bakar radliyallahu’anhu. Sebab Nabi mengatakan di akhir hadits ini, “Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka -yaitu orang yang dipanggil dari semua pintu surga-.” Para ulama mengatakan bahwa harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi. Dengan pernyataan ini maka hadits di atas termasuk kategori hadits yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar radliyallahu’anhu. Hadits ini juga menunjukkan bahwa betapa sedikit orang yang bisa mengumpulkan berbagai amal kebaikan di dalam dirinya (Fath Al-Bari, 7/31).
Abu Bakar adalah orang yang memiliki berbagai bentuk amal shalih dan ketaatan. Hal itu terbukti sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa?”. Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?”. Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.” Lalu beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim [1027 dan 1028] dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radliyallahu’anhu, “Tidaklah Abu Bakar itu melampaui para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (semata-mata) karena (banyaknya) mengerjakan puasa atau sholat, akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Mengomentari ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya adalah rasa cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan sikap nasihat terhadap (sesama) makhluk-Nya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, hal. 102)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuh. Dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599] dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radliyallahu’anhuma)
Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik anggota badan manusia, kemauan dirinya untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, kesanggupannya meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat (ketidakjelasan) adalah sangat tergantung pada gerak-gerik hatinya. Apabila hatinya bersih, yaitu tatkala di dalamnya tidak ada selain kecintaan kepada Allah dan kecintaan terhadap apa-apa yang dicintai Allah, rasa takut kepada Allah dan khawatir terjerumus dalam hal-hal yang dibenci-Nya, maka niscaya akan menjadi baik pula gerak-gerik seluruh anggota badannya. Dari sanalah tumbuh sikap menjauhi segala macam keharaman dan sikap menjaga diri dari perkara-perkara syubhat untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan…” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hal. 93)
An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan penegasan agar  bersungguh-sungguh dalam upaya memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.” (Al-Minhaj, 6/108)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah, “Poros baik dan rusaknya (amalan) adalah bersumber dari hati. Apabila hatinya baik maka seluruh tubuh juga akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh anggota tubuh akan ikut rusak. Dari faidah ini muncul perkara yang lain yaitu : sudah semestinya memperhatikan masalah hati lebih daripada perhatian terhadap masalah amal anggota badan. Sebab hati adalah poros amalan. Dan hati itulah yang nanti pada hari kiamat akan menjadi objek utama ujian yang ditujukan kepada manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah mereka tidak mengetahui ketika mayat yang ada di dalam kubur dibangkitkan dan dikeluarkan apa-apa yang tersembunyi di dalam dada.” (Qs. Al-‘Adiyat: 9-10). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha Kuasa untuk mengembalikannya. Pada hari itu akan diuji perkara-perkara yang tersembunyi (di dalam hati).” (Qs. Ath-Thariq: 8-9). Maka sucikanlah hatimu dari kesyirikan, kebid’ahan, dengki dan perasaan benci kepada kaum muslimin, serta (bersihkanlah hatimu) dari akhlak-akhlak dan keyakinan lainnya yang bertentangan dengan syari’at, karena yang menjadi pokok segala urusan adalah hati.” (Syarh Arba’in, hal. 113)
Beliau juga mengatakan, “Apabila Allah di dalam kitab-Nya, serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya juga telah menegaskan agar memperbaiki niat, maka wajib bagi setiap manusia untuk memperbaiki niatnya dan memperhatikan adanya keragu-raguan yang tertanam di dalam hatinya untuk kemudian dilenyapkan olehnya menuju keyakinan. Lantas bagaimanakah caranya?”
Beliau melanjutkan, “Hal itu dapat ditempuh dengan cara memperhatikan ayat-ayat. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam sungguh-sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang menggunakan akal pikiran.” (Qs. Ali ‘Imran: 190). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya di langit dan di bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman, begitu juga dalam penciptaan diri kalian dan hewan-hewan melata yang bertebaran adalah tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Qs. Al-Jatsiyah: 4). Maka silakan anda perhatikan ayat-ayat Allah yang lain.”
“Kemudian apabila syaitan membisikkan di dalam hati anda keragu-raguan, perhatikanlah ayat-ayat Allah, perhatikan alam semesta ini siapakah yang telah mengaturnya, perhatikanlah bagaimana keadaan bisa berubah-ubah, bagaimana Allah mempergilirkan perjalanan hari di antara umat manusia sampai anda benar-benar yakin bahwa alam ini memiliki pengatur yang maha bijaksana (yaitu Allah) ‘azza wa jalla…” (Syarh Riyadlush Shalihin, 1/41).

Tulisan "Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan" ini saya ambil dari salah satu situs wahabi, dan saya sendiri masih belum mentashhih tulisan ini secara seksama, karena itu mohon jangan langsung anda terima bulat-bulat tulisan ini, karena saya masih belum tahu apa sudah 100%  benar.
Sekian dari saya, dan terima kasih atas kunjungan anda.

Anda Sudah Membaca Artikel Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan Dengan Link http://arifinbaderi.blogspot.com/2015/06/artikel-arsip-keutamaan-bulan-ramadlan.html
Mohon sertakan Link atau Tautan artikel Artikel Arsip Keutamaan Bulan Ramadlan dan Keagungan Puasa Ramadlan ini apabila anda ingin membagikan tulisan ini.
Link atau Tautan Dofollow untuk blog ini untuk menghargai karya penulisan orang lain.
Atas Perhatiannya saya ucapkan terima kasih banyak.

bagikan artikel ini ke › Facebook Twitter Google+
Posted by admin, Published at 18.00 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar